Kamis, 13 Mei 2010

Nasionalisme Papua: Masalah dalam Sorotan

0 comments

Ada empat cerita yang menjadi pemicu bagi penulis menghabiskan waktu, tenaga dan dana menulis buku ini, yang paling tidak juga mengusik sidang pembaca sekalian dalam mewacanakan nasionalisme yang sedang berkembang di Tanah Papua. Keempat cerita ini tampil di hadapan penulis sebagai masalah yang membayangi atau mengganggu dalam mewacanakan, memahami dan melihat dengan jelas wajah nasionalisme Papua.

Empat Cerita Pemicu

Cerita pertama berasal dari penulisan buku Edisi VIII (Seri VIIIa – VIIId) yang mengulas Demokrasi Kesukuan[] sebagai sebuah gagasan untuk sistem kepemerintahan Masyarakat Adat, terutama Masyarakat Adat di Papua Barat. Pada suatu hari saya tiba pada kesimpulan ketika menulis buku Edisi VIIIb yang mengungkap demokrasi dalam kacamata Masyarakat Adat. Kelihatannya perlu ada tulisan terpisah yang memetakan kembali ‘isme-isme’ politik mulai dari liberalisme sampai anarkisme dalam kacamata Masyarakat Adat karena ‘isme-isme’ adalah fenomena masyarakat modern yang belum dijangkau oleh konteks pemikiran, pemahaman dan realitas kehidupan Masyarakat Adat di Papua Barat. Saya putuskan untuk menulis buku Seri IX berisi hampir semua ‘isme-isme’ politik modern.[]

Di tengah jalan penulisan buku Seri/ Edisi IX ini saya dihentikan lagi, tepat pada saat saya tiba pada Bab tentang ‘nasionalisme’ sebagai salah satu dari ideologi politik modern. Saya berusaha memetakan nasionalisme dalam konteks ‘isme-isme’ lainnya, tetapi mengalami kesulitan karena dua alasan: yang pertama nasionalisme tidak menolak ataupun mendukung semua ‘isme’ politik yang ada selama ini. Pada saat yang sama, ia tidak sama dengan ideologi politik lain yang memfokuskan diri kepada beberapa isu (aspek) kehidupan. Saya dapati bahwa ternyata nasionalisme mencakup hampir segenap aspek kehidupan manusia.

Saya lanjutkan pelacakan mengapa begitu? Dan ternyata nasionalisme itu sangat universal, karena ia menjiwai dan dijiwai oleh segenap bangsa di dunia, serta mencakup berbagai aspek kehidupan. Tetapi pada saat yang sama pula ia sangat partikuler, karena masing-masing bangsa memiliki kekhasan konsepsi dan struktur dari nasionalisme mereka yang sangat unik dan beragam, walaupun ekspresi dan tujuan serta apa yang mereka tentang dan cita-citakan hampir sama.

Meingingat bangsa Papua sendiri sangat berkepentingan dengan nasionalisme, maka saya hentikan penulisan Buku Seri IX dan memulai penulisan buku ini sebagai Seri X dengan judul: Sukuisme: Nasionalisme Masyarakat Adat Papua, yaitu ulasan teoritis nasionalisme Papua sebagaimana adanya.
***

Cerita kedua dari pengalaman suatu hari saya menghadiri sebuah rapat internal, diundang mewakili Demmak (Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka). Pada pertemuan itu digariskan beberapa kebijakan sebagai tuntunan bagi perjuangan aspirasi bangsa Papua. Yang menarik bagi saya dalam diskusi itu adalah penegasan salah-satu peserta rapat itu, “Nasionalisme yang sedang kita perjuangkan hanya menyangkut bangsa Papua, jadi tidak ada nasionalisme Koteka atau sukuisme di sini!”

Saya ajukan pertanyaan kepadanya, “Coba jelaskan apa wajah nasionalisme Papua tanpa Koteka?” Ia lalu tegaskan,

Pokoknya saya mau kita semua bersatu dalam satu payung, satu organisasi, di bawah satu pemimpin, dalam satu garis kebijakan. Jangan bermimpi menciptakan identitas macam-macam! Itu merusak nasionalisme.

Saya membalasnya:
Maaf, setahu saya justru Anda yang sedang bermimpi siang bolong, karena yang ada sekarang dan yang sudah ada sejak moyang orang Papua serta yang akan ada selamanya di Papua Barat adalah identitas Koteka dan identitas asli dan adat lainnya yang melekat dengan jatidiri orang Papua. Anda tak bisa bermimpi siang-bolong untuk menghapuskan identitas asli yang ada pada saat ini atas nama siapapun atau apapun, sekaligus mengatas-namakan nasionalisme Papua. Karena dengan demikian, Anda menjadi bagian dari musuh bangsa Papua yang sedang ditentang. Identitas adalah alasan inti perjuangan kita, yang kita bela dan hendak lestarikan, bukan sebaliknya. Kalau perjuangan ini hendak menghapuskan identitas orang Papua, termasuk identitas Koteka, maka kita jangan menyebutnya nasionalis Papua!

Teman tadi terus bersikukuh bahwa pada prinsipnya nasionalisme Papua haruslah menunjukkan keseragaman, ia tak percaya nasionalisme Papua pernah ada sebelum ada keseragaman. Rapat dimaksud berakhir tanpa hasil apa-apa lantaran perbedaan pendapat yang begitu tajam. Tetapi ia telah membantu memberikan bahan penting dalam perjuangan aspirasi bangsa Papua.
***

Cerita ketiga berasal dari wacana nasionalisme yang berkembang di tanah air: yaitu dua kubu yang memperjuangkan dua versi nasionalisme
(1) nasionalisme Papindo; dan
(2) nasionalisme Papua Merdeka

untuk satu entitas identitas bangsa yang bernama ‘Papua’. Kelihatannya kedua tujuan ini bertolak-belakang. Tetapi berdasarkan teori normativ sebenarnya keduanya sama karena mereka membela entitas identitas Papua agar diakui, dihargai dan dilindungi sehingga tidak punah dari muka bumi serta agar entitas identitas dimaksud dimajukan atau dikembangkan dalam berbagai aspek kehidupan.

Yang berbeda hanyalah bentuk dan atau format yang dipilih dan dianggap dapat diterima dan diupayakan untuk mencapai tujuan melindungi dan memajukan entitas identitas Papua dari kepunahan: yang satu memilih jalan pragmatis dan moderat (Otsus di dalam NKRI), yang lainnya memilih jalan idealis dan radikal (Papua Merdeka).
***

Cerita pemicu keempat diciptakan oleh fenomena pemekaran wilayah provinsi. Di tengah berbagai persoalan di atas, kita diperhadapkan lagi dengan pemekaran provinsi Papua menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Dalam konteks perkembangan politik NKRI, kita diperhadapkan dengan pertanyaan:
· Apakah nasionalisme Papua itu berlaku berdasarkan sebuah entitas wilayah administrasi NKRI, ataukah didasarkan entitas identitas ‘bangsa’?
· Nasionalisme Papua artinya nasionalisme dari orang Papua yang ada di Provinsi Papua ataukah nasionalisme bagi suku-suku yang ada di Pulau New Guinea bagian Barat, yang kini berada dalam Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat?
Pemekaran provinsi jelas menciptakan wacana nasionalisme Papua mengalami kebingungan, karena kita terpengaruh oleh nama wilayah administrasi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Empat Pertanyaan yang Mengusik

Empat cerita ini sangat menggangu benak saya. Saya sangat tertarik melacak nasionalisme dalam konteks nasionalisme yang berkembang di Tanah Papua, tetapi tertantang oleh keempat cerita di atas yang merupakan fenomena yang berkembang belakangan di Papua Barat belakangan ini. Saya lalu membatalkan dua seri buku sebelumnya dan memutuskan menulis buku ini.

Dalam melacak wajah nasionalisme Papua itu, didapati paling tidak ada empat pertanyaan pokok terkait dengan empat cerita di atas yang mengusik hati saya saat memikirkan untuk menulis buku ini:

§ Apa artinya nasionalisme Papua? Apakah itu berarti keseragaman atau kesamaan secara etnik, budaya, agama, dan secara organisasi (pimpinan, struktur organisasi dan program), ataukah kesamaan alasan dan tujuan perjuangan?;
§ Apa arti “nasional” dalam “-isme” ini sehingga walaupun saya memandangnya kesamaan secara ideologis, ada juga yang melihatnya secara fisik dan organisatoris?;
§ Apakah nasionalisme Papua hanya mencakup ‘bangsa Papua’ ataukah ia mencakup orang dari bangsa lain yang ada di Tanah Papua yang mendukung nasionalisme Papua juga?;
§ Kalau buku ini menyebut ‘nasionalisme’ Papua berarti apakah ia hanya mencakup nasionalisme dari orang Papua yang ada di Provinsi Papua, ataukah juga mencakup orang Papua yang ada di Provinsi Papua Barat?
_________________________________
Penulis: Sem Karoba
Sumber: http://westpapua.net/2010/03/954/
Read full story

Rabu, 12 Mei 2010

Koteka dan Dinamikanya

0 comments

PADA mulanya, tari-tarian dipersembahkan sebagai bagian dari ritual. Bahkan dalam masa berkabung pun suku Lani di Pegunungan Tengah Kabupaten Jayawijaya , Kabupaten Puncak Jaya, Papua Barat bersatu dalam tarian-tarian rancak dan khidmat.

Sepanjang teriakan dan lagu-lagu tak beraturan didengungkan, semua mengandung fonem-fonem yang hanya bisa dipahami secara indrawi, jika keluarga mereka sakit atau berdoa kepada arwah nenek moyang. Tarian-tarian dipersembahkan sebagai sikap kerukunan dan kebersamaan.

Pada dekade 70-an, muncul keinginan dari penduduk muda Papua yang merantau ke daerah lain untuk mengungkapkan keberadaan mereka dengan mempertontonkan tarian mereka. Sejak itulah, motif dan misi tarian sedikit bergeser. Dari hubungan penuh personal, menjadi kemajemukan

Dalam sebuah masa, pergeseran dan proses evolusi menuju kesempurnaan pasti akan menghampiri. Begitu juga dengan masyarakat adat koteka yang hidup di sepanjang Pegunungan Tengah dan Puncak Jaya. Masyarakat koteka bermukiman mulai Montagen di Papua Nugini sampai dengan Kabupaten Paniai sampai pedalaman Kabupaten Nabire, termasuk pedalaman Kabupaten Mimika. Mereka juga mengalami proses menuju kesempurnaan.

Namun ada kalanya, mitologi adat itu tergerus bersama waktu dan proses evolusi. Berangkat dari rasa was-was ini, empat pemuda suku Lani Pegunungan Tengah Papua Barat, kembali mengungkapkan bagaimana dan apa saja dinamika kebudayaan masyarakat koteka itu.


Pernikahan

Paulus Katamap, Joseph Baweng, Fanny Kogoya dan Nelson Pagawak, para pemuda suku Lani, kembali menyeruak belantara Cendrawasih, memutar rekaman adat istiadat hingga sistem sosial yang kini mulai tertindih bangunan-bangunan beton.

Umbi-umbian yang lebih dari 300 jenis, mulai berganti dengan nasi. Sagu mulai ditinggalkan. Mempelai pun kini menyandang busana ala Eropa. Hampir tidak ada lagi adat perkawinan leluhur. "Meski masih ada, itu hanya dilakukan oleh para orang tua. Sedang anak mudanya lebih memilih bergaun, daripada berkoteka atau berbaju kulit kayu," kata Fanny Kogoya.

Dalam kehidupan sosial orang koteka dengan proses-proses pelangsungan perkawinan, larangan-larangan yang membatasi orang untuk boleh atau tidak boleh, perkawinan dimulai dari negosiasi. Termasuk biaya. Dulunya, emas kawin ditentukan dengan beberapa ekor babi, kapak batu dan manik-manik. Kini, "uang" lah yang menggantikan posisi manik-manik dan kapak itu.

Jika persyaratan tersebut tak dipenuhi, sebuah pernikahan tak akan sah secara adat.

Adat koteka menentukan umur kawin bagi seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Syarat itu dilihat dari apakah seorang laki-laki bisa membuat rumah, kebun, berburu dan lain-lain.

Sedangkan seorang perempuan jika sudah bisa memasak, membuat kebun atau memelihara ternak babi, maka dianggap sudah bisa untuk kawin.

Saat ini orang mudah menentukan berapa umur kawin bagi laki-laki dan perempuan dilihat atau dihitung dari tanggal dan tahun kelahiran.

Kalau dibandingkan dengan masyarakat modern, sikap tanggung jawab ini tentunya mengandung banyak makna. Namun bagi suku di pedalaman Papua, tanggung jawab, murni tanggung jawab. Tak ada tawar menawar.

Setelah sah menjadi sepasang suami istri, orang koteka lantas mendirikan rumahnya sendiri. Ada larangan buat mereka untuk berkumpul dengan keluarga.

Nelson, lantas menuturkan, masyarakat koteka Pegunungan Tengah, memiliki sistem arsitektur, terutama dalam hal pembuatan rumah yang berbeda dengan komunitas yang ada di Papua. Rumah tinggal yang mereka sebut Kunume. Berbentuk bulat dan tertutup rapat tanpa ada celah sedikitpun.

Dalam komunitas Pegunungan Tengah, Kunume terbagi menjadi tiga bagian. Kunume untuk tempat tinggal kaum laki-laki, dan Home adalah tampat tinggal kaum ibu-ibu dan anak-anak, sedang Waliana adalah dapur tempat memasak dan kandang ternak.

Bentuk Kunume dan Home, bulat dan sama besar. Sedangkan Waliana atau dapur dan tempat ternak ini bentuknya dibuat lebih besar memanjang dan terlihat lonjong. Ketiganya beratap alang-alang dan berdinding papan.

Khusus Waliana dibagi dua ruang dengan dibatasi oleh papan, ruang yang satu untuk memasak dan ruang yang satunya lagi digunakan untuk kandang ternak. Waliana ini memiliki dua pintu. Pintu pertama dibuat untuk manusia dan pintu kedua dibuat untuk ternak. Pintu untuk ternak biasanya dibuat mengarah ke alam bebas. Sedangkan pintu untuk manusia diarahkan ke Kunume dan Home.

Sedangkan Kunume memiliki dua pintu. Pintu utama dan pintu cadangan. Pintu utama arah pintu selalu berhadapan dengan pintu gapura atau pintu gerbang. Sedangkan pintu cadangan biasanya dibuat di belakang.

Letak Home untuk tempat tinggal kaum perempuan dan anak-anak ini biasanya berada di bagian samping atau belakang dari posisi Kunume. Pengaturan posisi rumah seperti ini memiliki makna tersendiri, misalnya untuk menghindari kemungkinan serangan musuh pada saat-saat perang berlangsung.

Anak-anak biasanya tinggal bersama kaum ibu-ibu di Home, tetapi anak laki-laki yang sudah mulai besar harus pindah dan tinggal di Kunume. Di Kunume inilah anak laki-laki akan secara langsung belajar segala sesuatu tentang kearifan yang dimiliki sampai ia beranjak dewasa dan kawin.

Dalam kehidupan tradisi, Kunume, Home maupun Waliana biasanya dibuat oleh kaum laki-laki. Perempuan terlibat dengan caranya sendiri yakni menyediakan makanan dan minuman.

Sebuah Kunume, Home dan Waliana juga bisa dimiliki beberapa keluarga yang dibangun bersama-sama. Bentuk Kunume adalah bulat , beratap alang-alang (ongget marak), memiliki dua pintu (tunggagangngwi), depan dan belakang. Sedangkan dinding terbuat dari kayu-kayu belahan (okobat) yang diikat dengan tali rotan yang disebut kele. Kunume tidak bersekat-sekat, juga tidak berjendela selain kedua pintu. Bangunan tanpa jendela ini memang ditujukan agar tidak ada udara dingin menyeruak masuk dan mengganggu saat istirahat masyarakat Pegunungan Tengah Papua ini.

Mengapa laki-laki dan perempuan harus terpisah? Menurut Fanny Kogoya, hal itu suatu kebiasaan untuk menjaga aksebilitas kaum laki-laki. Bagi orang Papua dan khususnya masyarakat koteka, di tubuh perempuan, ada kehidupan dan kematian. Karenanya, harus ada keseimbangan. Karena itu, orang Papua sedikit merasa rikuh jika tinggal bersama dalam satu rumah, meski mereka sudah berkeluarga.


SistemReligi

Sebelum agama masuk, di belahan belantara masyarakat yang hidup dan menyatu dengan alam, menyelaraskan hubungan roh mereka dengan apa yang ada di alam. Masyarakat adat koteka mengenal apa yang dinamakan kepercayaan kepada sang pencipta. Oleh orang modern suatu itu dianggap sebagai percaya kepada roh-roh halus, animisme dan dinamisme.

Namun harus diakui bahwa itulah bentuk yang dilakukan untuk menyembah kepada sang penciptanya. Menurut mereka, ada suatu respon balik dari apa yang mereka lakukan sebagai suatu kekuatan yang memaknai hidup mereka.

Koteka pelindung kelamin laki-laki dan cawat yang terbuat dari kulit kayu untuk menutup kemaluan perempuan, dulu tidak pernah dipersoalkan. Tetapi semuanya telah berubah. Anak-anak sudah tidak berkoteka. Kalau itu dilakukan di belantara modernisasi, mungkin orang akan mengatakan pornoaksi. "Buat orang koteka, tidak ada istilah pornoaksi. Semua serba terbuka, bukan berarti kami tak bermoral," ulang Nelson.

Ritual bagi pendahulu kami adalah dengan menyimpan tulang-belulang di tempat-tempat khusus, di hutan atau dibuat pondok, lalu disembah dengan meletakan sesajian-sesajian. Semuanya dilakukan untuk mendapatkan perlindungan, kekuatan, mendatangkan kesuburan tanah.

Cara kami mungkin berbeda, tetapi tujuannya sama. Yaitu menyembah Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini. Kehidupan kekal di akhirat, bagi orang koteka, itu soal nanti. Yang terpenting adalah kita yang hidup sekarang, harus berbuat baik dengan sesama, alam dan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini.

Ini adalah suku pedalaman Papua yang hidup dari lembah dan ngarai pegunungan. Mungkinkan kehadiran kami tetap mendapat tempat di antara modernitas dan aturan adat modern yang justru mencarut-marutkan kesatuan suku?
---------------
FUSKA SANI EVANI
Suara Pembaruan Daily
Feb 15, 2005, 15:25
Read full story

Minggu, 09 Mei 2010

Jeritan Hati Anak Koteka

0 comments

Untuk apakah hidup ini? Buat apa? Apa yang dituju? Apa yang dicari? Apa alasan untuk hidup? Apa gunanya hidup? Harapan orang umumnya - termasuk juga harapan oranng tua saya - adalah untuk belajar, kerja, berusaha, lantas jadi kaya, jadi orang makmur, punya duit, berkecukupan, dan lain-lain.

Bah! Tapi tujuan macam apa itu? Kaya dan lantas setelah itu mati begitu saja. Buat apa? Apa nikmatnya jadi kaya kalo ujung akhir dari seorang kaya dan seorang miskin adalah sama saja: mati.

Tanpa guna, tanpa arti, lebih baik mati secepatnya. Lantas apa tujuan hidup saya? Saya tra tao...Hidup adalah omong kosong.

Mungkin yang penting memang bukan ujung akhirnya, tapi per-JALAN-nya [Ktk].
Read full story

Harapan Yang Tak Kunjung Tiba

0 comments

Apakah kami tahu dunia luar? ataukah kami hanya satu obyek dari sebuah cerita untuk membanggakan mereka yang hanya tahu naik pesawat, rumah mewah dan semua yang serba kecukupan, tahukah mereka apa yang ada dalam benak kami? kami sadar mungkin kami hanya jadi bahan tertawaan dari mereka yang selalu ingin mengambil keuntungan dari kepolosan kami, dimana hanya derita yang selalu kami rasakan tanpa henti-hentinya! mungkinkah satu dari sekian banyak dermawan yang sudi meluangkan waktu untuk melirik sejenak kehidupan kami, masih adakah waktu buat kami untuk mengenal dunia luar...???|Ktk|
Read full story
 

My Blog List:

Lani Ndawe:


|-Nelson Pagawak-| © 2010 Yikwanak is Designed by Koteka JR Supported by Tadpole's